Kekeliruan selama terjadi perceraian atau talak adalah istri langsung diusir suami dari rumah atau istri yang berinisiatif keluar dari rumah suami. Padahal yang benar, selama masa ‘iddah, istri harus tetap berada di rumah suami sampai masa ‘iddah selesai. Syari’at Islam memerintahkan demikian karena ada maksud baik di balik itu, supaya bisa terpupuk kembali cinta kasih dan sayang. Begitu pula istri selama masa ‘iddah setelah ditalak masih berstatus milik suami, belum jadi milik laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1)
Beberapa pelajaran bisa kita petik dari ayat di atas:
1- Walau konteks pembicaraan ditujukan pada Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tetapi pembahasan talak dan ‘iddah dalam ayat di atas berlaku juga untuk umatnya.
2- Mentalak istri di waktu ‘iddah maksudnya adalah mentalaknya di waktu suci dan sebelum disetubuhi. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
لا يطلقها وهي حائض ولا في طهر قد جامعها فيه، ولكن: تتركها حتى إذا حاضت وطهرت طلقها تطليقة
“Janganlah mentalak istri dalam keadaan haidh dan jangan pula dalam keadaan suci setelah disetubuhi dahulu. Akan tetapi biarkanlah hingga ia suci, lalu talaklah sekali.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 27)
3- Ada perintah menghitung masa ‘iddah. Ini menunjukkan bahwa masa ‘iddah ada awal dan akhirnya. Selama masa ‘iddah tersebut, wanita tidak diperkenankan untuk menikah.
4- Ibnu Katsir berkata, “Selama masa ‘iddah, istri masih memiliki hak tempat tinggal di rumah suami. Sehingga tidak boleh bagi suami mengusir istri dari rumahnya. Begitu pula istri tidak boleh keluar dari rumah karena statusnya masih sebagai istri untuk memenuhi hak suami.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 28)
5- Istri masih tetap di rumah sampai masa ‘iddah selesai kecuali jika ia melakukan perbuatan fahisyah (perbuatan keji) yang jelas. Di antara makna fahisyah adalah zina. Demikian makna fahisyah dalam ayat ini menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 28.
6- Allah memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
7- Apa hikmah di balik wanita tetap di rumah selama masa ‘iddah? Kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Wanita yang telah ditalak tetap di rumah suami selama masa ‘iddah agar bisa muncul penyesalan pada diri suami karena telah mentalak istrinya sehingga ia pun rujuk pada istrinya jika Allah telah menentukannya. Inilah alasan mudah dan gampangnya suami bisa rujuk kembali pada istri.” Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 14: 28.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah menetapkan masa ‘iddah bagi wanita yang ditalak karena adanya hikmah yang besar. Di antara hikmahnya adalah supaya Allah menjadikan pada hati suami yang mentalak rasa kasih dan sayang sehingga ia pun bisa rujuk kembali pada istrinya. Mereka bisa membina rumah tangganya kembali selama masa ‘iddah tersebut. Atau mungkin ada sebab lain sehingga bisa terjadi talak, lalu hilang sebab tersebut selama masa ‘iddah, dan suami pun merujuk pada istri karena telah hilangnya sebab tersebut.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 869).
Namun sekali lagi, talak yang bisa dirujuki adalah talak pertama dan kedua.
Wallahul muwaffiq.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 25 Shafar 1434 H